in the future - u will be able to do some more stuff here,,,!! like pat catgirl- i mean um yeah... for now u can only see others's posts :c
Pertanyaan:
Bolehkah seorang wanita mengendarai kendaraan bersama guru mengemudi untuk mengajarinya mengemudi jika wanita itu seorang diri tanpa mahram atau suami dengan ketentuan bahwa kendaraan untuk belajar mengemudi merupakan kendaraan umum, bukan kendaraan pribadi hingga wanita itu memerlukan mahram? Apakah guru mengemudi berdosa dalam mengajari teknik mengemudi kepada seorang wanita yang datang kepadanya tanpa mahram atau suami?
Jawab:
Benar bahwa kendaraan untuk belajar mengemudi merupakan kendaraan umum bukan kendaraan pribadi. Akan tetapi di situ wajib ada suami atau mahram wanita itu. Jika tidak ada maka wanita itu berdosa. Demikian pula guru mengemudi itu berdosa jika ia mengajari wanita di dalam kendaraan itu tanpa mahram wanita tersebut.
Penjelasan hal itu adalah sebagai berikut :
1. Bahwa Allah SWT membolehkan untuk wanita berbagai perkara di dalam kehidupan umum : (baik yang
Perkara-perkara itu ada dua bagian :
Bagian pertama, penunaiannya tidak menuntut pertemuan laki-laki dengan perempuan bersama-sama atau adanya khulthah di antara keduanya. Khulthah adalah berkumpul dan berbicara bersama.
Misalnya berjalan di jalan-jalan, pergi ke masjid, pergi rekreasi, ke taman umum ... dan semisalnya. Perkara ini, wanita tidak boleh bercampur dengan lakilaki dalam menunaikannya. Karena hukum asal adalah terpisah sebagaimana yang ada di dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan laki-laki dan perempuan di dalam Islam. Selama penunaian apa yang dibolehkan syara' bagi wanita tidak menuntut khulthah dan pertemuan untuk itu, maka hukumnya tetap menurut hukum asal. Yakni wanita berjalan di jalan, dan ke masjid atau ke keluarganya atau ke taman ... berjalan kaki atau berkendaraan (bukan sejauh perjalanan yang mengharuskan adanya mahram). Wanita menunaikan urusan itu tanpa khulthah dengan laki-laki asing, yakni tanpa berdekatan dan berbicara bersama. Maka wanita itu naik bus tanpa berbicara dengan laki-laki asing di sampingnya, memasuki taman dan berjalan di dalamnya tanpa khultah. Dan semisal kondisi-kondisi umum ini wanita tidak harus bersama mahram. Dan demikian juga tidak perlu dibangun tempat jogging di taman khusus untuk perempuan dan tempat jogging di taman khusus untuk laki-laki, atau jalan di suatu kota khusus untuk laki-laki dan jalan khusus untuk perempuan. Tetapi tempat jogging dan jalan satu dimana mereka berjalan di situ akan tetapi tanpa khulthah dalam makna yang sudah dijelaskan sebelumnya.
menghal lukkan Ilaiannya tidak temuan laki-laki dan perempuan.
Bagian kedua, urusan yang penunaiannya mengharuskan pertemuan/ berkumpulnya antara lakilaki dengan perempuan untuk satu tujuan mereka berkumpul.
Misalnya, jual beli, ijarah, pengobatan untuk orang sakit, sebagian jenis kegiatan belajar mengajar, seminar keilmuan yang umum, pengembangan harta dengan pertanian atau industri ... Dalam kondisi-kondisi semisal ini, untuk kehidupan seperti ini terdapat hukumhukum khusus yang mengatur pertemuan laki-laki dengan perempuan dalam batas-batas ketentuan syariat.
Shalat jamaah di masjid, penunaiannya mengharuskan berkumpulnya laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu untuk masalah tersebut terdapat hukum khusus. Yaitu shaf-shaf harus terpisah. Pertama-tama laki-laki, kemudian perempuan. Akan tetapi tidak perlu adanya mahram (bagi wanita) di antara orang-orang yang menunaikan shalat.
Haji, penunaiannya mengharuskan berkumpulnya laki-laki dan perempuan tanpa pemisahan barisan (shaf). Untuk itu terdapat hukum-hukum untuk laki-laki dan perempuan tentang haji yang sudah diketahui.
Pengobatan dan pemeriksaan orang sakit, pelaksanaannya dalam kondisi tertentu mengharuskan berkumpulnya laki-laki dan perempuan. Untuk yang demikian itu bagi secara khusuf.
2. Pengajaran mengemudi mengharuskan adanya laki-laki dan perempuan untuk belajar mengemudi jika tidak terdapat guru mengemudi wanita untuk para wanita dan guru mengemudi laki-laki untuk laki-laki. Untuk urusan yang demikian dalam kondisi tersebut harus dicari hukumnya secara khusus.
Dengan mempelajari fakta pengajaran mengemudi jelaslah hal sebagai berikut :
Fakta pengajaran mengemudi di dalam kendaraan adalah terbatas antara pengajar laki-laki dengan wanita yang belajar. Tujuannya adalah mengajarkan teknik mengemudi kepada individu bukan kepada jamaah. Tujuan khusus berkumpul/bertemunya laki-laki dan perempuan adalah terbatas dengan keduanya saja. Hal itu tidak seperti masjid atau seminar umum, dimana tujuan berkumpulnya lakilaki dan perempuan mencakup jumlah banyak orang, sehingga khalwat tidak ada. Masalahnya adalah masalah barisan laki-laki dan barisan perempuan. Oleh karena itu datang dalil-dalil yang menyatakan pemisahan shafshaf laki-laki dan perempuan tanpa membahas masalah khalwat atau mahram.
Adapun dalam kondisi pengajaran teknik mengemudi di dalam kendaraan, maka tujuan pertemuan laki-laki dan perempuan berhubungan dengan dua orang : laki-laki guru mengemudi dan perempuan yang belajar mengemudi. Atas dasar ini diduga kuat khalwat bisa terjadi sesuai tuntutantuntutan jalannya pengajaran mengemudi di jalan-jalan yang berbeda. Ditambah lagi adanya khulthah yakni pertemuan berdekatan dan berbicara selama pengajaran teknik mengemudi. Oleh karena itu khalwat itu harus dipupus dan khulthah dibatasi dalam masalah pengajaran teknik mengemudi. Hal itu dilakukan dengan adanya mahram. Karena Rasul.
« لا يخلون رجل بامرأة إلا ومعها ذو محرم »
Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan kecuali perempuan itu bersama mahramnya (HR. Muslim)
Karena itu wajib adanya suami dari wanita yang belajar mengemudi atau mahramnya selama ia mengendarai kendaraan untuk belajar mengemudi (bersama laki-laki guru mengemudi). Semua itu jika tidak terdapat wanita yang mengajarkan teknik mengemudi untuk wanita. Dan jika tidak terdapat, maka ketentuannya sesuai apa yang kami sebutkan di atas.
Ringkasnya, bahwa wanita boleh mengendarai kendaraan untuk belajar mengemudi bersama guru mengemudi laki-laki, dengan ketentuan di dalam kendaraan itu bersama wanita tersebut terdapat suaminya atau mahramnya. Dan jika tidak ada mahram maka wanita itu berdosa dan guru laki-laki yang mengajarinya teknik mengemudi juga berdosa tanpa adanya mahram atau suami wanita itu.
Harus diperhatikan bahwa seorang wanita di kehidupan umum, dalam semua kondisinya, ia wajib menutup auratnya dengan mengenakan pakaian syar'iy, yakni jilbab dan kerudung sesuai ketentuan syariat.
5 - 0
HUKUM KERJA DI EXPEDISI BAGIAN GUDANG/KURIR YANG DIKHAWATIRKAN MENGANTARKAN BARANG HARAM
October 12, 2022
35

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Assalamu’alaikum, afwan Ustadz saya izin bertanya mengenai hukum bekerja di expedisi bagian gudang/kurir. Karena saya ragu karena takut ada barang haram seperti pakaian-pakaian yang membuka aurat, atau benda haram yang lain yang kita antarkan ke konsumen. Bagaimanakah dengan hukum pekerjaan tersebut, Ustadz? (Hamba Allah)
Jawab :
Wa ‘alaikumus salam wr. Wb.
Orang yang bekerja di expedisi hukumnya tidak lepas dari 3 (tiga) kemungkinan sebagai berikut :
Pertama, bekerja di expedisi yang mengantarkan barang-barang yang diyakini 100% barang yang halal menurut Syariah Islam, misalnya obat-obatan herbal, buku-buku Islami, baju gamis laki-laki, busana muslimah, sajadah, parfum non-alkohol, dan sebagainya.
Bekerja sebagai expedisi yang mengantarkan barang-barang halal seperti itu kepada konsumen tidak diragukan adalah pekerjaan yang halal dalam Syariah Islam. Hal ini karena pekerjaan yang dilakukan memenuhi syarat keabsahan akad ijarah, yaitu pekerjaannya merupakan manfaat-manfaat yang mubah (dibolehkan syariah), maka akad ijarah (bekerja) dengan pekerjaan-pekerjaan seperti di atas hukumnya halal (boleh).
Imam Taqiyuddîn An-Nabhânî menyatakan :
يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الإِجارَةِ أَنْ تَكونَ المَنْفَعَةُ مُباحَةً ، وَلَا تَجُوزُ إِجارَةُ الأَجيرِ فِيمَا مَنْفَعَتُهُ مُحَرَّمَةٌ
“Disyaratkan untuk keabsahan akad ijarah, bahwa manfaat [yang diberikan pekerja] haruslah manfaat yang mubah [dibolehkan syariah], dan tidak boleh melakukan akad ijarah dengan mempekerjakan seorang pekerja untuk melakukan segala pekerjaan dengan manfaat yang telah diharamkan syariah.” (Taqiyuddîn An-Nabhânî, An-Nizhâm Al-Iqtishâdî fî Al-Islâm, hlm.91).
Kedua, bekerja di expedisi yang mengantarkan barang-barang yang diyakini 100% barang yang haram menurut Syariah Islam, misalnya khamr (minuman keras), narkoba (al-mukhaddirât, drugs) dalam berbagai jenisnya, seperti sabu-sabu, ganja, pil ekstasi, dsb, barang-barang keagamaan dari agama di luar Islam, misalnya kalung salib, baju pendeta, baju biarawati, dsb, termasuk juga baju-baju wanita yang jika dipakai wanita muslimah akan menampakkan aurat mereka, atau membentuk tubuh mereka, seperti bikini, lingerie, tank top, celana jins, dsb.
Bekerja di expedisi yang mengantarkan barang-barang yang diyakini 100% barang yang haram tersebut, hukumnya juga haram menurut Syariah Islam. Hal ini karena pekerjaaan (jasa) yang dilakukan telah diharamkan oleh syara’, maka akad ijarah-nya, yakni bekerja sebagai expedisi yang mengantarkan barang-barang haram tersebut, juga diharamkan dalam Syariah Islam.
Keharaman pekerjaan yang demikian didasarkan pada beberapa dalil syar’i, di antaranya ayat Al-Qur`an yang melarang umat Islam tolong menolong dalam berbuat dosa, sebagaimana firman Allah SWT :
وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ
“Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS Al-Mâ`idah : 2).
Selain itu, keharaman pekerjaan tersebut juga dapat disandarkan pada suatu kaidah fiqih (al-qâwa’id al-fiqhiyyah) yang berkaitan dengan masalah ini yang berbunyi :
اَلْإِعَانَةُ عَلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ
“Memberi bantuan pada yang haram, hukumnya juga haram.” (Ibnu Taimiyyah, Al-Fatâwâ Al-Kubrâ, Juz 6, hlm. 313).
Keharamannya juga dapat disandarkan pada dhawâbith fiqhiyyah yang terdapat dalam bab fiqih Ijarah berikut ini :
وَلَا تَجُوزُ الإِجارَةُ عَلَى المَنافِعِ المُحَرَّمَةِ
“Tidak boleh akad ijarah pada manfaat-manfaat yang telah diharamkan.” (Imam Nawawi, Al-Majmû’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz 15, hlm. 3).
Ketiga, bekerja di expedisi yang mengantarkan barang-barang yang sifatnya campuran dari segi hukum syara’-nya, yakni sebagian barang adalah barang-barang halal dan sebagian lagi adalah barang-barang yang haram. Misalnya, bisa jadi sebuah expedisi biasanya mengirimkan barang-barang berupa makanan yang halal seperti buah-buahan, sayur-sayuran, biskuit, dsb, tapi terkadang juga mengirimkan barang yang haram, seperti khamr (minuman keras), dsb.
Dalam kondisi demikian, menurut pendapat yang kami rajihkan, bekerja di expedisi semacam ini hukumnya haram, sesuai kaidah fiqih :
إِذَا اجْتَمَعَ الحَلالُ والْحَرامُ غُلِّبَ الحَرامُ
“Jika bercampur yang halal dengan yang haram maka dimenangkan yang haram.” (Imam Jalaluddîn As-Suyûthî, Al-Asybâh wa An-Nazhâ`ir, hlm. 105. Lengkapnya lihat kitab Qâ’idah Idzâ ijtama’al Halâl wal Harâm Ghullibal Harâm karya Syekh Ahmad bin Muhammad As-Sarâh).
Penerapan kaidah tersebut banyak sekali, salah satunya dapat diterapkan untuk seorang pekerja di sebuah expedisi yang kadang mengirim barang yang haram namun terkadang juga mengirim barang yang halal. Dalam kondisi seperti ini, yaitu bercampurnya hukum halal dan haram pada suatu fakta, maka yang dikuatkan atau dimenangkan adalah hukum haram. Inilah jawaban kami untuk pertanyaan di atas.
Untuk menambah faidah, dan untuk lebih memahami penerapan kaidah fiqih tersebut, kami akan tambahkan contoh-contoh penerapan kaidah tersebut dari kitab karya Syekh Ahmad bin Muhammad As-Sarâh yang berjudul Qâ’idah Idzâ ijtama’al Halâl wal Harâm Ghullibal Harâm. Contoh-contohnya sebagai berikut :
Contoh pertama : مسألة المُتَوَلِّد مِن مأكولٍ وغيره؛ كالبغل، وأنَّه لا يَحِلُّ أَكْلُه
Masalah hewan yang dilahirkan dari persilangan hewan yang halal dimakan dan hewan yang tidak halal dimakan, seperti baghal (peranakan kuda dan keledai), maka hewan peranakan itu hukumnya tidak halal untuk dimakan, yakni dikuatkan hukum haram atas hukum halal.
Contoh kedua : مسألة ما تولَّد مِن وَحْشِيٍّ وغيرِه لا يجوزُ للمُحْرِمِ قتْلُه تغليبًا للحرامِ على الحلال
Masalah hewan yang dilahirkan dari persilangan hewan liar dan hewan yang tidak liar, maka bagi orang yang berihram, hukumnya tidak halal membunuhnya, yakni dimenangkan hukum haram atas hukum halal.
Contoh ketiga : مسألة لو اشْتَبَهَتْ مَيْتَةٌ بمُذكَّاةٍ لم يَجُزْ تناوُلُ شيء منها.
Masalah kalau seandainya tersamar (tak jelas, atau bercampur) antara bangkai [yang haram] dan hewan yang disembelih secara syar’i [yang halal], maka tidak boleh memakan sedikitpun sesuatu yang tersamar / tercampur itu.
Contoh keempat, yaitu :
مسألة لو اشترَك في الصَّيْد أو الذَّبْح مسلمٌ ومجوسيٌّ، فإنَّهُ لا يجوزُ أكْلُ هذا الصَّيدِ أو هذه الذَّبيحَة
Masalah kalau orang muslim dan orang Majusi secara bersama-sama berburu binatang atau menyembelih binatang, maka hukumnya tidak halal memakan hewan hasil buruan atau hewan sembelihannya.
Contoh kelima : لو اختلطتْ واشْتَبَهَتْ زوجَتُه بغيرها فيَحْرُم عليه الوَطْءُ تغليبًا للحرامِ على الحلال
Masalah kalau andaikata bercampur baur antara istri seseorang dan perempuan-perempuan lain (di suatu kamar, dsb) maka haram hukumnya bagi seorang laki-laki (suami) menggauli salah satunya dari sejumlah perempuan yang ada, yakni dikuatkan hukum haram atas hukum halal.
Contoh keenam, contoh kontemporer, yaitu :
حُكمُ المساهَمَة بالشَّرِكات المختَلِطَة التي أصْلُ نشاطِها مباحٌ، ولكنَّها قد تُودِعُ في بعض الأحيان في البنوك أموالًا بفوائِدَ أو تقترِضُ بفوائدَ، وذكر أقوالَ العلماء المعاصرين فيها، ثم رجَّحَ القولَ بتحريم الاتِّجَار والمساهَمَة في هذه الشَّرِكات؛ وذلك تغليبًا لجانب الحرام.
Hukum mempunyai saham dari perusahaan yang bercampur [modalnya], yang bidang kegiatannya pada dasarnya mubah, tetapi kadang perusahaan itu meletakkan modalnya di bank dengan mendapat bunga, atau meminjam modal dengan memberi bunga, maka setelah penulis kitab menyebut beberapa pendapat ulama dalam masalah ini, penulis kitab merajihkan pendapat yang mengharamkan, yakni memenangkan hukum haram atas hukum halal.
Demikianlah contoh-contoh penerapan kaidah fiqih tersebut dari kitab berjudul Qâ’idah Idzâ ijtama’al Halâl wal Harâm Ghullibal Harâm Syekh Ahmad bin Muhammad As-Sarâh yang terdapat di link sbb :
dorar.net/article/1862/ قاعدة-إذا-اجتمع-الحلال-والحرام-غلب-الحرام
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.
Yogyakarta, 12 Oktober 2022
Shiddiq Al-Jawi
2 - 0
At-Tabarruj adalah menampakkan perhiasan dalam bentuk yang menarik pandangan tanpa menampakkan aurat. Batasan tanpa terlihat aurat ditetapkan karena perhiasan disertai tersingkapnya aurat adalah haram baik menarik pandangan ataupun tidak.
Masalah yang ada adalah tanpa tersingkapnya aurat, seperti seorang wanita merias wajahnya atau jari-jarinya; atau berhias dengan kerudung atau jilbabnya; atau berhias di leher yang tertutup jilbab seperti mengenakan kalung ... Semua perhiasan itu jika tidak biasa di lingkungan pergerakan wanita dari sisi bahwa menampakkan perhiasan
itu akan menarik pandangan, maka hal itu disebut tabarruj dan hukumnya haram.
Seandainya seorang wanita menghias jari jemarinya di kampung misalnya yang tidak biasa terlihat jari jemari wanita seperti itu, maka hiasan yang ada di jari jemarinya itu menarik pandangan. Hal itu adalah tabarruj dan haram hingga meski telapak tangan bukan aurat.
Seandainya seorang wanita menghentakkan kakinya ke tanah sehingga terdengar suara gemerincing gelang kakinya sehingga menarik pandangan ke perhiasan yang ada di kakinya, hingga meski seluruh kakinya tertutup, maka hal itu adalah tabarruj dan haram.
Seandainya seorang wanita mengenakan kerudung yang asing, tidak biasa, dihiasi dengan sulaman (bordiran) yang terang menyala yang menarik pandangan, maka termasuk tabarruj dan hukumnya haram hingga meski seluruh rambutnya tertutup.
Seandainya seorang wanita mengenakan jilbab yang terdapat tulisan (hiasan) di dadanya yang menarik pandangan, maka hal itu termasuk tabarruj dan hukumnya haram, hingga meski ia mengenakan pakaian syar'iy.
Demikianlah setiap perhiasan tanpa disertai tersingkapnya (terlihatnya) aurat, yang menarik pandangan merupakan tabarruj dan hukumnya haram. Adapun perhiasan berhias) disertai tersingkapnya aurat maka hukumnya haram baik menarik pandangan ataupun tidak. Dalilnya adalah : " Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (TQS. An-Nûr [24]: 31)". Ayat tersebut mengharamkan gerakan kaki wanita agar menarik pandangan kepada gelang kakinya, dan perlu diketahui bahwa auratnya tertutup. Maka setiap perhiasan yang menarik pandangan (tanpa disertai tersingkapnya aurat) merupakan tabarruj dan hukumnya haram.
yang menarik Ringkasnya, bahwa perhiasan pandangan (tanpa tersingkap aurat) adalah tabarruj dan hukumnya haram. Dan perhiasan disertai dengan tersingkapnya aurat adalah haram baik menarik pandangan atau tidak. Tentu saja tersingkapnya aurat adalah haram.
Oleh karena itu suatu perhiasan dalam hal mubah yang menarik pandangan, sebagaimana yang telah kami jelaskan, merupakan tabarruj. Hal itu hukumnya haram. Yang demikian itu diketahui menurut kondisi dan fakta lingkungan dimana seorang wanita hidup. Dan biasanya pengetahuan hal itu tidak menimbulkan problem. Manusia. baik perempuan maupun laki-laki, mereka mampu menentukan dan mengetahui hal itu (yakni perhiasan yang menarik pandangan menurut kebiasaan yang ada).
Inilah tabarruj dari sisi menarik pandangan. Hal itu merupakan pemisah bagi hukum atas keberadaan perhiasan pada bagian tubuh yang mubah (dilihat) merupakan tabarruj atau bukan tabarruj. Adapun perhiasan pada aurat disertai tersingkapnya aurat maka hal itu bukan pembahasan tabarruj. Akan tetapi pembahasannya adalah hukum aurat. Dan dalil-dalilnya sudah jelas. Maka haram atas wanita menampakkan bagian manapun dari auratnya baik hal itu menarik pandangan atau tidak. Allah Swt berfirman :
...ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن على جيوبهن ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن أو ءابائهن أو ءاباء بعولتهن
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka... (TQS. An-Nûr [24]: 31)
Dan "mâ zhahara minhâ (apa yang biasa nampak dari padanya)" yakni wajah dan kedua telapak tangan. sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Abbas radhiyallâh 'anhumâ. Dan Rasul saw bersabda :
« إن الجارية إذا حاضت لن يصلح أن يرى منها إلا وجهها ويداها إلى المفصل» ))
Sesungguhnya seorang pemudi jika sudah haidh tidak boleh terlihat darinya melainkan wajahnya dan kedua tangannya sampai pergelangan tangan (HR. Abu Dawud)
Maka selain wajah dan kedua telapak tangan diharamkan atas wanita untuk menampakkannya kepada selain suaminya dan mahram sesuai dalil-dalil yang ada.
Oleh karena itu, yang wajib adalah mengenakan kerudung yang mencukupi untuk menutupi rambut dan leher dan dijulurkan ke dada sedemikian sehingga tidak nampak melainkan wajah dan kedua telapak tangan. Allah Swt berfirman:
( وليضربن بخمرهن على جيوبهن ...)
dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya (TQS. An-Nûr [24]: 31)
Yakni hendaknya wanita mengulurkan kerudung menutupi al-jayb yaitu bukaan baju sehingga tidak nampak leher. Maka kerudung itu menjadi penutup atas rambut, telinga dan leher. Kecuali dari tubuhnya berupa wajah dan kedua telapak tangan, maka keduanya boleh nampak.
7 - 0
Kumpulan ceramah yang mencerahkan akal menyejukkan hati